Senin, 17 September 2018

Waktu yang Berharga

Waktu sudah menunjukan pukul 20.05 dan Laura masih harus lembur di kantor. Ini berarti sudah 12 jam lebih 5 menit ia berada di kantor. Ini belumlah seberapa. Beberapa kali, ia bahkan harus lembur sampai diatas pukul 24.00. Selain lembur pada hari biasa, kadang ia juga harus bekerja saat weekend. Ia merasa sangat lelah. Di sisi lain, ia belum mempunyai kekuatan untuk meninggalkan pekerjaannya. Pekerjaannya sebagai seorang desainer membuat Laura harus selalu siap jika diminta lembur. Pekerjaannya kadang menuntut dirinya sulit mendapatkan waktu luang. Banyak yang ia ingin lakukan. Seharian di rumah, hang out dengan teman-temannya, dan traveling. Bahkan beberapa kali ia sulit mendapatkan kesempatan untuk bisa ke gereja.

Laura akhirnya berdiri dan merenggangkan badannya dan tiba-tiba saja perutnya berbunyi. Ia sampai lupa makan karena begitu sibuknya. Tidak masalah jika ia pergi keluar sambil menghirup udara segar. Tetapi, ia merasa tidak memiliki waktu untuk melakukannya. Alhasil, ia memesan makanan supaya tetap bisa bekerja sambil menunggu pesanannya datang. Keadaan kantor sudah mulai sepi. Hanya ada ia dan Citra yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya.
“Ra, masih belum selesai juga?”
“Belum nih, Kak.”
“Sudah makan, Ra?”
“Belum, Kak. Tapi aku udah pesan makanan.”
“Ra, Jangan terlalu khawatir proyek kamu bisa berhasil atau tidak! Aku percaya kalau kamu sudah bekerja keras. Jangan terlalu perfeksionis! Akhirnya butuh waktu lebih lama kan untuk bisa selesai.” perkataan Citra yang terasa menusuk, tetapi Laura sangat menyetujuinya.
“Kalau gitu saya pulang dulu ya. Kamu hati-hati nanti pulangnya!”
“Iya, Kak. Kak Citra juga hati-hati ya pulangnya!” Citra pun meninggalkan Laura sendirian.
Laura begitu iri dengan seniornya itu. Bahkan dari awal bekerja pun, Citra tidak secemas Laura ketika menyelesaikan proyek, tetapi bisa lebih cepat selesai. Sisi perfeksionis seakan-akan telah mengambil jiwanya, membuat ia butuh waktu lebih lama untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Sejujurnya, ia lelah dengan dirinya sendiri. Tetapi tidak ada yang bisa dilakukannya karena ia hanya ingin memberikan yang terbaik bagi perusahaan dan kliennya. Laura sudah makan dan telah menyelesaikan pekerjaannya tepat pukul 00.15. Saatnya ia pulang. Ia merasa sangat lelah dan hanya bisa bersandar di dalam taksi. Meskipun telah menyelesaikan bagiannya, ia masih saja khawatir karena takut hasilnya tidak sesuai dengan harapan kliennya. Kekhawatiran itulah yang membuat dirinya lebih lelah. Sampai di apartemen pukul 01.20, ia memutuskan untuk mandi supaya tubuhnya lebih segar. Seandainya ia bisa punya waktu seminggu untuk mewujudkan daftar keinginannnya. Tapi baginya, itu mustahil.

Hari Sabtu. Laura merasa sangat lega karena tidak disuruh untuk bekerja. Saat yang tepat untuk bangun siang dan bermalas-malasan. Tidak ada niat untuk pergi keluar. Tiba-tiba, ia terpikir untuk pergi ke suatu tempat yang sangat dirindukannya, yaitu gereja. Tapi badannya begitu lelah untuk sekedar berdiri. Akhirnya, ia segera melempar rasa malasnya itu.

Ini adalah kesempatan yang baik dan aku tidak boleh menyia-nyiakan panggilan ini.
Ada kerinduan yang sangat dalam ketika memasuki gereja. Selama ini hanya ada kekosongan meskipun Laura mempunyai kesempatan untuk mengikuti misa. Ia berpikir tidak akan merasa kesepian dengan pekerjaan yang banyak dan kehadiran rekan kerjanya. Ia juga sangat merindukan keluarganya yang tinggal di Semarang. Rasanya, sulit sekali mendapatkan waktu untuk bisa bertemu mereka. Tanpa disangka, Laura menitikkan air matanya. Ini saatnya untuk menumpahkan semua kelelahannya. Kelelahan yang membuat hatinya tetap merasa kosong.

Tuhan, aku harus apa? Semuanya sangat menggiurkan bagiku. Aku merasa hidupku sudah terjamin dan sudah lebih baik. Aku pikir akan baik-baik saja. Tapi ternyata aku salah. Semuanya membuatku sangat lelah. Aku masih saja merasa kesepian. Aku harus apa? Batinnya yang ia keluarkan bersamaan dengan air matanya. Sulit baginya untuk bisa menemukan jawaban langsung dari Tuhan. Ampuni aku, Tuhan. Aku telah menyia-nyiakan banyak hal, terutama waktuku bersama-Mu. Selama tiga tahun ini aku tidak bahagia. Aku terlalu sombong karena merasa aku sendiri bisa melakukan semuanya. Aku sangat merindukan-Mu. Apakah Tuhan juga merindukanku? Aku sangat merindukan keluargaku. Ia menumpahkan semua kelelahan dan perasaan bersalahnya melalui tangisan yang semakin deras. Tidak ada lagi kata-kata dari dalam hatinya. Ia terhanyut dalam keheningan selama 2 jam sampai hati dan pikirannya menjadi tenang. Langkah kakinya menjadi lebih ringan ketika kembali ke apartemennya. Ketenangan tergambar jelas di wajahnya.

Dua minggu telah berlalu. Laura masih tetap sibuk sampai akhirnya berhasil dengan proyek yang selama ini dikerjakannya. Pastinya ia mendapat bonus dari hasil kerja kerasnya. Ia sangat bersyukur. Tapi sebisa mungkin ia berusaha untuk tetap teguh pada pendiriannya. Setelah kembali ke ruangannya dan duduk di kursinya, ia mengambil amplop di dalam laci. Ia membuka amplop itu dan melihatnya dengan kekhawatiran.
Ya, aku akan melakukannya. Aku harus siap! Aku harus tetap teguh dengan pendirianku! Ia memotivasi dirinya sendiri untuk kuat melakukan apa yang sudah dipikirkannya selama dua minggu ini. Ia memutuskannya tidak sendirian, melainkan bersama Tuhan dengan berdoa. Baginya, ini saat yang tepat. Hatinya semakin mantap ketika melihat kertas di dalamnya yang bertuliskan:

SURAT PENGUNDURAN DIRI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar